Minggu, 20 April 2008

Sikap NU dalam menghadapi perkembangan zaman

Hal yang menarik untuk dikupas mengenai tulisan Jamal Ma'mur Asmani, Pengurus Harian Robithoh Maíahid Islamiyah Cabang Pati, Direktur Perpustakaan Al-Hikmah, Pati, Jateng, dalam tulisannya tentang “NU, Liberalisme dan Fundamentalisme” yang menyebutkan bahwa :

Rumusan sederhana NU tentang tata cara beragama sebenarnya tertuang dalam tiga aspek masing-masing, Theologi (Abu Hasan AL-Asy'ari dan Al-Maturidi), Hukum (Abu Hanifah, Maliki, Syafi'i, Hambali), dan Sufisme (Junaidi Al-Baghdadi dan Al-Ghozali) dinilai sangat tidak memadai untuk merespons tantangan Fundamentalis, liberalisme dan radikalisme. Kaum intelektual muda NU kini sudah terlalu dalam mengkaji tentang filsafat, etimologis, sosiologis, antropologis, historis, kulture, dan politis. Kritisisme, liberalisme, skeptisisme, analitisme, dan progresif telah menjadi dasar pemikiran mereka sehingga kontradiktif dengan konsep-konsep tradisional NU tersebut diatas sehingga hasilnya lebih condong kepada pikiran-pikiran liberal-kritis-proyektif karena menjanjikan masa depan ekonomi, intelektual, dan kebudayaan. Disamping itu faham globalisasi, modernisasi, dan informasi turut mempengaruhi pemikiran mereka dalam menyikapi suatu persoalan. Sehingga mengalahkan kajian tafsir, humanisme-antroposentrisme mengalahkan kajian ahklak-tasawuf, rasionalisme, dekonstruksi-rekonstruksi mengalahkan kajian fikih klasik, dan teologi pembebasan mengalahkan kajian tauhid.

Menyikapi hal tersebut, NU agar tidak mengklaimnya sebagai pemikiran liberalisme dari kaum muda NU karena hanya akan menyebabkan semakin tidak senangnya mereka pada NU dan dapat mencerminkan ketidakmampuan NU dalam menyikapi tantangan pemikiran yang sudah berjalan secara masif-eskalatif. Sebaliknya NU dituntut untuk mampu mengembangkan pandangan moderatnya melalui kontekstualisasi dan aktualisasi konsep ahlus sunnah wal jama'ah sebagaimana ide Said Aqil Siraj tentang aswaja sebagai manhajul fikr (metodologi berpikir) yang merupakan terobosan baru yang perlu ditindaklanjuti dan dimantapkan.

Tantangan NU kedepan, seperti globalisasi dan liberalisasi yang kini tengah berlangsung, gerakan fundamentalis radikal yang mengusung simbol-simbol agama dalam wilayah politik, semangat Khilafah Islamiyah dalam upayanya menggantikan Pancasila dan penerapan syariat Islam yang dinilai kontroversial bagi negara pluralistik dan heterogen seperti Indonesia menuntut NU agar lebih arif dalam menghadapi persoalan tersebut. Menurut Said Agil Siraj, munculnya organisasi atau harakah yang mengatasnamakan Islam yang terkadang cenderung dinilai melakukan perlawanan terhadap negara sebenarnya dinamika yang bersifat transisional. Paradigma tekstualis, parsial, fragmented, dan ad hoc terhadap doktrin Islam menjadikan kelompok ini eksklusif. Menyikapi hal tersebut NU dituntut untuk meneguhkan kembali paham ahlus sunnah wal jama'ah yang tawassuth (moderat), infitah (inklusif), i'tidal (lurus-konsisten), al-syura (musyawarah), tawazun (keseimbangan), musawah (kesetaraan), tasamuh (toleran) dan adalah (keadilan). Dengan pinsip-prinsip tersebut NU diharapkan mampu berdiri pada semua kelompok bangsa secara fleksibel, akomodatif, dan responsif. NU berada di garda depan dalam mengusung tradisi lokal sebagai landasan implementasi syariat Islam sehingga dapat mendukung visi NU untuk mewujudkan tradisi moderasi dan toleransi umat Islam. Dalam konteks hubungan agama vis a vis negara, NU sendiri merupakan satu-satunya organisasi Islam yang pertama menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam.

Tidak ada komentar: